MENYIKAPI
LOGIKA DAN MITOS TENTANG KIBLAT PERSPEKTIF ULAMA’*
Oleh: KH. A’wani
Sya’rowi (Rois Suriah NU Jawa Tengah)
Bersama:
Muhammad Nuruddin, S.Pd.I
I.
Pendahuluan
Jika kita
berbicara tentang Makkah, maka kita pasti akan teringat tentang sebuah bangunan
berbentuk kubus yang dijadikan arah bagi kaum muslimin untuk mengarahkan atau
menghadapkan wajahnya dalam melakukan shalat. Bangunan yang disebut ka’bah ini
merupakan tempat peribadatan yang paling terkenal dalam islam, dan biasa
disebut dengan Baitullah (the temple or house of god).
Ka’bah
dijadikan sebagai kiblat umat muslim ketika melakukan shalat yang mana
pengertian kiblat dikutip dari encyclopedia of islam: the qibla, or
direction of Mecca, defines the direction of prayer in islam. Dan dalam kutipan lain kiblat is an Arabic word for
derection that should be faced when a moeslim prays during salat. Jadi, kita biasa ambil kesimpulan bahwa kiblat adalah
arah yang dihadap oleh muslim ketika melaksanakan ibadah atau shalat, yakni
arah menuju ka’bah di Mekkah.
Secara
Etimologi, kata qiblat berasal dari bahasa arab قبلة yaitu salah satu bentuk masdar dari kata kerja
قبل يقبل ,
yang berarti menghadap. sedangkan secara Terminologi kata kiblat memilki
beberapa definisi salah satunya Abdul Aziz Dahlan yang mendefinisikan kiblat
sebagai bangunan ka’bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan
sebagian ibadah.
Karena ka’bah
adalah bangunan istimewa dan suci bagi umat islam serta tempat
peribadatan yang terkenal tentunya kita pasti ingin mengetahui apa
sejarah ka’bah itu sendiri sehingga dijadikan bagi kaum muslimin dalam
melaksanakan ibadahnya. Maka makalah ini mencoba memaparkan sejarah singkat
tentang ka’bah yang dijadikan kiblat bagi kaum muslimin.
Sholat adalah rukun Islam terpenting setelah Syahadatain, dan merupakan amal
Ibadah badaniyah yang paling utama dibandingkan Ibadah badaniyah lainnya
semisal puasa, zakat ataupun haji. Sebagai ibadah, shalat memiliki
aturan-aturan yang harus dipenuhi demi sahnya shalat itu sendiri, yang dalam
bahasa fuqaha disebut dengan syarat dan rukun. Di antara syarat-syarat tersebut
adalah menghadap kiblat, yang oleh Fuqaha telah disepakati sebagai syarat
sahnya sholat kecuali dalam 2 permasalahan, yaitu sholat dalam keadaan
syiddatul khauf dan sholat sunnah ketika di atas kendaraan[1].
Berkenaan
dengan konsep menghadap kiblat dalam shalat, perbedaan pendapat di kalangan
Ulama tentang hal ini bukan hal baru lagi. Perbedaan tersebut mestinya bukanlah
sumber dari perpecahan di kalangan umat Islam. Sebaliknya pendapat-pendapat
Ulama salaf sesuai ijtihad mereka masing-masing tersebut pada hakikatnya adalah
solusi yang arif bagi kita dalam menyikapi perbedaan dalam masyarakat kita.
Rasulullah SAW telah mengisyaratkan hal tersebut dalam sabdanya: اختلاف
أمتي رحمة “Perbedaan
pendapat dalam umatku adalah rahmat”[2].
Sebagaimana
kita ketahui, akhir-akhir ini di Indonesia kontroversi seputar arah kiblat
kembali mencuat ke permukaan. Beberapa kalangan menyatakan, bahwa banyak arah
kiblat masjid yang sudah ada tidak tepat mengarah ke Ka’bah di Makkah, dan
perlu dilakukan penyesuaian. –ini sebenarnya bukan yang pertama terjadi di
Indonesia, tetapi juga sudah pernah terjadi pada sekitar tahun 1897 M
di Yogyakarta yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan- . Tidak terkecuali pada
akhirnya masjid paling bersejarah di tanah Jawa, masjid Agung Demak juga
digugat arah kiblatnya. Pro dan kontra di antara masyarakat muslim dalam
menanggapi masalah yang berkaitan dengan ibadah keseharian mereka ini tak
terhindarkan lagi. Keresahan umat Islam bertambah ketika secara mengejetkun mengeluarkan
fatwa no.5/2010 yang merevisi fatwa no.3/2010. Yang mana sebelumnya, pada bulan
Maret 2010 MUI memfatwakan bahwa kiblat umat Islam Indonesia adalah arah barat.
Namun, karena ada sebagian pihak yang belum sepakat, mereka mengkaji ulang
fatwa ini. Pada akhirnya, tanggal 10 Juli 2010 MUI menggelar sidang pleno yang
menghasilkan fatwa no.5/2010 dengan masih menyisakan pro dan kontra antara
anggotanya sendiri, yang mana isinya adalah kiblat umat Islam Indonesia adalah
menghadap ke barat laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan
masing-masing. Di sinilah dibutuhkan solusi bijak untuk menjaga iklim yang
kondusif dan persatuan umat Islam.
II.
Pembahasan
A.
Interpretasi Kajian Qiblat
1.
Sejarah Menghadap Qiblat
Di masa Nabi Muhammad, awalnya perintah shalat
itu ke baitul Maqdis di Palestina. Hal ini dilakukan berhubungan
kedudukan baitul maqdis saat itu masih dianggap yang paling istimewa dan
Baitullah masih dikotori oleh beratus-ratus berhala yang mengelilinginya. Namun
menurut sebuah riwayat, sekalipun Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis,
jika berada di Makkah Rasulullah saw berusaha untuk tetap shalat menghadap ke
Ka’bah. Caranya adalah dengan mengambil posisi di sebelah selatan Ka’bah.
Dengan mengahadap ke utara, maka selain menghadap Baitul Maqdis di Palestina,
beliau juga tetap menghadap Ka’bah.
Namun ketika beliau dan para shahabat hijrah ke
Madinah, maka menghadap ke dua tempat yang berlawanan arah menjadi mustahil.
Dan Rasulullah saw sering menengadahkan wajahnya ke langit berharap turunnya
wahyu untuk menghadapkan shalat ke Ka’bah. Hingga turunlah ayat berikut :
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً
تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
يَعْمَلُونَ ﴿١٤٤﴾
.
Artinya:
Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah :
144).
Demikianlah Rasulullah pernah menghadap kiblat
ke Baitul Maqdis ketika beliau ada di mekkah dan di madinah hampir kurang lebih
17 bulan, seteleh turun ayat yang memerintahkan Nabi
Muhammad untuk memalingkan wajahnya untuk menghadap ke Ka’bah maka
ditentukanlah kiblat, arah shalat bagi umat muslim sampai sekarang adalah
ka’bah yang terletak di Mekkah.
Jadi, di dalam urusan menghadap Ka’bah, umat
Islam punya latar belakang sejarah yang panjang. Ka’bah merupakan
bangunan yang pertama kali didirikan di atas bumi untuk dijadikan tempat ibadah
manusia pertama. Dan Allah swt telah menetapkan bahwa shalatnya seorang muslim
harus menghadap ke Ka’bah sebagai bagian dari aturan baku dalam shalat.
2.
Dasar Hukum Menghadap Qiblat
Para ulama telah membuat consensus
(ijma) yang menetapkan ka’bah sebagai arah atau kiblat bagi seluruh umat Islam
dalam melaksanakan ritual ibadah shalat,
dan dasar hukumnya sebagai berikut:
a.
Alqur’an Al Karim
Banyak ayat al-Quran yang menjelaskan mengenai
dasar hukum menghadap kiblat, antara lain firman Allah SWT dalam Qs. Al-
Baqarah 144:
قَدْ نَرَىٰ
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ
وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّهِمْ ۗ
وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ ﴿١٤٤﴾
Artinya: Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke
langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al
Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar
dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 144).
Juga
dalam Qs Al-Baqarah 150:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ
عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٥٠﴾
Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang)
maka palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram, dan dimana saja kamu semua
berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia
atas kamu, kecuali orang-orang yang dhalim diantara mereka. Maka janganlah kamu
takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku
atas kamu, dan supaya kamu dapat petunjuk. (QS. AL-Baqarah :150)
Artikulasi ditetapkannya ka’bah sebagai arah
kiblat bukan dimaksudkan sebagai bentuk penyucian (pen-taqlidan) dan
pensakralan satu arah tertentu, akan tetapi eksistensinya dalam pelaksanaan
ritual ibadah hanya dimaksudkan sebagai methode ketaatan terhadap perintah
Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah : 142.
سَيَقُولُ
السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا
عَلَيْهَا ۚ
قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾
Artinya : Orang-orang
yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang
memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu
mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah
timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke
jalan yang lurus” (QS. Al-Baqarah: 142).
Oleh
karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni salat, maka ia
baru boleh dilakukan setelah ada dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat
itu wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “al-ashl
fî al-‘ibâdah al-buthlân hattâ yaqûma al-dalîl ‘alâ al-amr.[3]
b.
Hadits Nabi
Berkaitan dengan penjelasan dan dasar menghadap
kiblat adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Tsabit bin
Anas beliau berkata:
عن أنس بن مالك رضي الله قال:ان رسول اللّه صلّي اللّه عليه
وسلّم كان يصلّي نحو بيت المقدس فنزلت ” قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي
السَّماَءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
المَسْجِدِ الحَراَمِ. فمر رجل من بني سلمة وهم ركوع في صلاة الفجر وقد صلوا ركعة
فنادى ألا أن القبلة قد حولت فمالوا كماهم
نحو القبلة. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Anas Bin Malik RAberkata: “
bahwa sesunggunya Rasulullah SAW(pada suatu hari) sedang shalat dengan
menghadap Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat “Sesungguhnya Aku melihat
mukamu setimh menengadah ke langit, maka sungguh kami palingkan mukamu ke
kiblat yang kamu kehendaki. Palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram”.
Kemudian ada seseorang dari Bani Salamah bepergian, menjumpai sekelompok
sahabat sedang ruku pada shalat fajar. Lalu ia menyeru “Sesungguhnya kiblat
telah berubah”. Lalu mereka berpaling seperti kelompok Nabi, yakni kearah
kiblat”.(HR. Muslim).[4]
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari sahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:
عن
ابى هريرة ر.ع . قال : قال النبى ص.م. : اذا قمت الى الصلاة فاسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة وكبر (رواه البخاري)
Artinya: “Dari Abu
Hurairah r.a. Nabi saw bersabda: bila hendak salat maka
sempurnakanlah wudu, lalu Menghadaplah ke kiblat lalu takbirlah”(HR. Bukhari) [5]
Meskipun para Ulama telah sepakat tentang
Ka’bah sebagai kiblat seluruh umat islam dalam melakukan kewajiban ibadah
shalat, akan tetapi dapat varian perbedaan pendapat, terutama pada teritorial
daerah yang jauh dari ka’bah. Sebaliknya, pada daerah yang jauh hingga tidak
tampak bentuk fisik ka’bah para ulama masih berbeda pendapat tentang teknis
menghadap kiblatnya.
Setidaknya ada dua versi pendapat di kalangan
ulama. Pndapat pertama menyatakan bahwa di manapun umat islam berada, baik yang
dekat maupun jauh dari ka’bah, mereka wajib menghadap bentuk fisik ka’bah (ain
ka’bah). Pendapat ini didukung oleh Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ibn Hambal.
Sedangkan pendapat kedua merekomendasikan bahwa umat islam cukup menghadap kea
rah ka’bah saja (jihah al-ka’bah). Pendapapat kedua ini di dukung oleh Imam Abu
Hanifah dan Malik Ibn Anas. Titik temu dari kedua pendapat tersebut pada
konteks bahwa bagi umat islam pada territorial daerah yang mampu melihat fisik
ka’bah maka cara menghadapnya adalah menghadap bentuk fisik (ain ka’bah),
sedangkan bagi-bagi yang jauh dan tidak dapat melihat bentuk fisik ka’bah maka
diperkenankan untuk tidak persis menghadap ain al-ka’bah secara yaqinan (yakin)
tetapi paling tidak secara dhannan (dugaan kuat). Hal ini diperkuat dengan
berdasarkan dalil hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi,
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ما بين المشرق و المغرب قبلة إذا توجه
نحو البيت (رواه الببهقي)
Artinya: dari Abi hurairah berkata Nabi SAW
bersabda: diantara timur dan barat terdapat kiblat, jika seseorang menghadapnya
kea rah Baitullah. (HR. Baihaqi)[6]
Secara
lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua arah yang berada di antara keduanya
yaitu utara dan selatan termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik
ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada dalam shaff yang sangat
panjang yang jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan salatnya menghadap
fisik ka’bah[7]
البيت قبلة لاهل المسجد والمسجد قبلة
لاهل الحرام والحرام قبلة لاهل الارض في مشارقها و مغاربها من امتي ( رواه البيهقي)
Artinya: Baitullah kiblat bagi penghuni Masjidil
Haram, Masjidil Haram kiblat bagi penghuni tanah Haram, Tanah Haram kiblat bagi
penduduk bumi di penjuru timur dan barat dari umatku. ( HR. Baihaqi)
B.
Logika Falak dalam Qiblat
1.
Koordinat Posisi Geografis
Setiap lokasi di permukaan bumi ditentukan oleh dua bilangan yang
menunjukkan kooordinat atau posisinya. Koordinat posisi ini masing-masing
disebut Latitude (Lintang) dan Longitude (Bujur). Sesungguhya angka koordinat ini merupakan angka sudut
yang diukur dari pusat bumi sampai permukaannya. Acuan pengukuran dari suatu
tempat yang merupakan perpotongan antara garis Ekuator dengan Garis Prime
Meridian yang melewati kota Greenwich Inggris. Titik ini berada di Laut
Atlantik kira-kira 500 km di Selatan kota Accra Rep. Ghana Afrika.
Satuan kooordinat lokasi dinyatakan dengan derajat,
menit busur dan detik busur dan disimbolkan dengan ( °,
', " ) misalnya 110° 47’ 9” dibaca 110 derajat 47
menit 9 detik. Dimana 1° = 60’ = 3600”. Dan perlu diingat bahwa walaupun
menggunakan kata menit dan detik namun ini adalah satuan sudut dan bukan satuan
waktu.
Latitude disimbolkan
dengan huruf Yunani φ (phi) dan Longitude disimbolkan dengan λ
(lamda). Latitude atau Lintang adalah garis vertikal yang menyatakan jarak
sudut sebuah titik dari lintang nol derajat yaitu garis Ekuator. Lintang dibagi
menjadi Lintang Utara (LU) nilainya positif (+) dan Lintang Selatan (LS)
nilainya negatif (-) sedangkan Longitude atau Bujur adalah garis horisontal
yang menyatakan jarak sudut sebuah titik dari bujur nol derajat yaitu garis
Prime Meridian. Bujur dibagi menjadi Bujur Timur (BT) nilainya positif (+) dan
Bujur Barat (BB) nilainya negatif (-). Untuk standard internasional angka
longitude dan latitude menggunakan kode arah kompas yaitu North (N), South(S),
East (E) dan West (W). Misalnya Yogyakarta berada di Longitude 110° 47’ BT bisa
ditulis 110° 47’ E atau +110° 47’.
2.
Rumus Trigonometri
Arah Ka’bah yang berada di kota Makkah
yang dijadikan Kiblat dapat diketahui dari setiap titik di permukaan bumi, maka
untuk menentukan arah kiblat dapat dilakukan dengan menggunakan Ilmu Ukur
Segitiga Bola (Spherical Trigonometri). Penghitungan dan pengukuran
dilakukan dengan derajat sudut dari titik kutub Utara, dengan menggunakan alat
bantu mesin hitung atau kalkulator.
Untuk
perhitungan arah kiblat, ada 3 buah titik yang harus dibuat, yaitu :
1.
Titik A, diletakkan di Ka’bah (Mekah)
2.
Titik B, diletakkan di lokasi tempat yang
akan ditentukan arah kiblatnya.
3. Titik C, diletakkan di titik kutub utara.
Titik A dan titik C adalah dua titik yang tetap, karena titik A tepat di
Ka’bah dan titik C tepat di kutub Utara sedangkan titik B senantiasa berubah
tergantung lokasi mana yang akan dihitung arah Kiblatnya.
Bila ketiga titik tersebut dihubungkan dengan garis lengkung permukaan
bumi, maka terjadilah segitiga bola ABC, seperti pada gambar.
Ketiga sisi segitiga ABC di samping ini diberi nama dengan huruf kecil
dengan nama sudut didepannya masing-masing sisi a, sisi b dan sisi c.
Dari gambar di atas, dapatlah diketahui bahwa yang dimaksud dengan
perhitungan Arah Kiblat adalah suatu perhitungan untuk mengetahui berapa besar
nilai sudut K di titik B, yakni sudut yang diapit oleh sisi a dan sisi c.
Pembuatan gambar segitiga bola seperti di atas sangat berguna untuk
membantu menentukan nilai sudut arah kiblat bagi suatu tempat dipermukaan bumi
ini dihitung/diukur dari suatu titik arah mata angin ke arah mata angin
lainnya, misalnya diukur dari titik Utara ke Barat (U-B), atau diukur searah
jarum jam dari titik Utara (UTSB).
Untuk perhitungan arah kiblat, hanya diperlukan dua data :
1). Koordinat Ka’bah φ = 21o 25’ LU
dan λ = 39o 50’ BT.
2). Koordinat lokasi yang akan dihitung arah kiblatnya.
Sedangkan data lintang dan bujur tempat lokasi kota yang akan dihitung arah
kiblatnya dapat diambil dari berbagai sumber diantaranya : Atlas Indonesia dan
Dunia, Taqwim Standar Indonesia, Tabel Geografis Kota-kota Dunia, situs
Internet maupun lewat pengukuran langsung menggunakan piranti Global
Positioning System (GPS).
Data geografis Ka’bah di Makkah : φ = 21° 25’ LU dan λ = 39° 50’ BT
INDONESIA
|
NILAI
|
ARAB
|
INTERNASIONAL
|
SIMBOL
|
|
1
|
Lintang (LU /LS)
|
+
/ -
|
‘Ardul balad
|
Latitude (U/S)
|
phi
= φ
|
2
|
Bujur ( BT / BB )
|
+
/ -
|
Thulul balad
|
Longitude (E/W)
|
lambda
= λ
|
3. Istiwa A'zam -
Matahari Istiwa di Atas Ka'bah (Rumus
Tradisional)
Kejadian saat posisi matahari istiwa (kulminasi)
tepat di atas Ka'bah terjadi dua kali setahun yaitu pada setiap tanggal 28 Mei
sekitar pukul 16.18 WIB dan pada 16 Juli sekitar jam 16.28 WIB. Ketika matahari
istiwa di atas Ka'bah, bayang-bayang objek tegak di seluruh dunia akan lurus ke
arah kiblat.
Kedudukan matahari di
atas Ka'bah yang menyebabkan bayangan tegak diseluruh dunia searah
kiblat.
Panduan untuk menentukan arah kiblat dari sesuatu tempat pada tanggal dan jam yang telah ditentukan diatas:
1.1.1. Dirikan sebuah tiang di sekitar lokasi yang hendak diukur
arah kiblatnya
1.1.2. Pastikan tiang tersebut tegak dan lurus. Untuk meyakinkan
posisi tegakknya dapat diukur menggunakan bandul yang tergantung pada
seutas tali.
1.1.3. Tempat yang dipilih untuk pengukuran ini tidak boleh
terlindung dari ahaya matahari. Oleh karena matahari berada di Barat, maka
bayangan akan kearah Timur, maka arah kiblat ialah bayang yang menghadap ke
Barat
Dan masih banyak lagi rumus menentukan arah kiblat yang dapat digunakan secara
modern maupun tradisional diantaranya kontelasi Rasi Orion
(Babadour), Bintang Al Qutbi/Kutub polaris, Rasi Al-Judah ( Bajak /
Ursa Minoris ), dan Rumus matahari terbenam, serta kaidah jari
telunjuk dan lain sebagainya.
C.
Mitos Qiblat Bagi Masyarakat
Masyarakat
Islam di Indonesia sebagian besar masih menganut faham mitos ini dalam
menentukan arah Qiblat dalam sholat hanya dengan ancer-ancer
mereka sangat yakin bahwa mereka mengarah Qiblat tanpa harus mengukur berapa
derajat kesesuainya. Mereka berpendapat bahwa “Nilai Ibadah seseorang hanya
Allah yang menentukan bukan ulama maupun malaikat”
Pendapat ulama tentang arah kiblat yang berlau di
masyarakat:
1.
Cara Menghadap Qiblat dengan Melihat langsung Ka’bah
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah
secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia
berijtihad untuk menghadap kea rah lain.
Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dalam Al Mughni mengatakan, “Jika
seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah.
Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil
mengatakan, ‘Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak
sah’.”[8]
2.
Cara Menghadap Qiblat Bagi Yang Jauh dari Ka’bah
Jika melihat ka’bah
secara langsung, para ulama sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak
boleh melenceng. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti
kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri
(Indonesia)
Dalam Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih
pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat
yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat
ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah
menghadap ke arahnya saja.[9]
Pendapat ulama
Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal
ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzanniy),
mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya
menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan
kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak
mesti persis)
Jadi, intinya
jika seseorang tidak melihat ka’bah secara langsung, di sini ada perselisihan
pendapat di antara ulama. Padahal jika kita lihat dalil masing-masing kubu
adalah sama. Namun, pemahamannya saja yang berbeda karena berargumen dengan
hadits yang mereka pegang.
Kesemua empat
mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali telah bersepakat bahwa
menghadap kiblat salah satu merupakan syarat sahnya shalat. Bagi Mazhab Syafii
telah menambah dan menetapkan tiga kaidah yang bisa digunakan untuk memenuhi
syarat menghadap kiblat yaitu:
a)
Menghadap
Kiblat Yakin (Kiblat Yakin)
Seseorang yang
berada di dalam Masjidil Haram dan melihat langsung Ka'bah, wajib menghadapkan
dirinya ke Kiblat dengan penuh yakin. Ini yang juga disebut sebagai “Ainul
Ka’bah”. Kewajiban tersebut bisa dipastikan terlebih dahulu dengan melihat atau
menyentuhnya bagi orang yang buta atau dengan cara lain yang bisa digunakan
misalnya pendengaran. Sedangkan bagi seseorang yang berada dalam bangunan
Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.
b)
Menghadap
Kiblat Perkiraan (Kiblat Dzan)
Seseorang yang
berada jauh dari Ka'bah yaitu berada diluar Masjidil Haram atau di sekitar
tanah suci Mekkah sehingga tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib
menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai maksud menghadap ke arah Kiblat secara
dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul Ka’bah”. Untuk mengetahuinya
dapat dilakukan dengan bertanya kepada mereka yang mengetahui seperti
penduduk Makkah atau melihat tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat
di tempat–tempat tersebut.
c)
Menghadap Kiblat
Ijtihad (Kiblat Ijtihad)
Ijtihad arah
kiblat digunakan seseorang yang berada di luar tanah suci Makkah atau bahkan di
luar negara Arab Saudi. Bagi yang tidak tahu arah dan ia tidak dapat mengira
Kiblat Dzan nya maka ia boleh menghadap kemanapun yang ia yakini sebagai Arah
Kiblat. Namun bagi yang dapat mengira maka ia wajib ijtihad terhadap
arah kiblatnya. Ijtihad dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat dari
suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Diantaranya adalah ijtihad
menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari terbenam dan
perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan modern.
Bagi lokasi
atau tempat yang jauh seperti Indonesia, ijtihad arah kiblat dapat ditentukan
melalui perhitungan falak atau astronomi serta dibantu pengukurannya
menggunakan peralatan modern seperti kompas, GPS, theodolit dan sebagainya.
Penggunaan alat-alat modern ini akan menjadikan arah kiblat yang kita
tuju semakin tepat dan akurat. Dengan bantuan alat dan keyakinan yang lebih
tinggi maka hukum Kiblat Dzan akan semakin mendekati Kiblat Yakin. Dan
sekarang kaidah-kaidah pengukuran arah kiblat menggunakan perhitungan
astronomis dan pengukuran menggunakan alat-alat modern semakin banyak digunakan
secara nasional di Indonesia dan juga di negara-negara lain. Bagi orang awam
atau kalangan yang tidak tahu menggunakan kaidah tersebut, ia perlu taqlid atau
percaya kepada orang yang berijtihad.
D.
Manakah yang Benar antara Logika falak dan Mitos dalam menentukan
Qiblat
Jika
kita dihadapkan manakah yang benar antara logika falak dan mitos bisa dijawab oleh
ulama bahwasanya keduanya tidak ada yang salah kita tetap menggunkan dua-duanya.
Yang tidak
dibenarkan dalam Falak maupun mitos Qiblat menurut ulama adalah:
a.
Hasil Penghitungan Astronomi Digunakan Untuk Pijakan Merubah Mihrab
Yang Sudah ada
Dalam Kenyataanya arah kiblat
masjid-masjid di Indonesia khususnya masjid-masjid yang didirikan para wali,
para Ulama’ terdahulu sudah sesuai dengan standart syariat yang ada walaupun jika
diukur dengan ilmu falak dan teknologi tidak sesuai atau tidak tepat dan lurus
posisinya dari ka’bah.
Selain itu warga muslim Indonesia
yang mayoritas Warga NU dan berpegangan pada Madzahibul Arba’ah sehingga
tidak perlu lagi merubah Mihrab yang sudah ada Maka dari itu
merubah mihrab masjid – masjid yang sudah ada adalah pekerjaan yang sangat
tidak perlu dan bahkan tidak dapat dibenarkan dengan beberapa alasan:
1.
Arah Masjid-masjid yang ada di
Indonesia pada umumnya sudah sesuai dengan pendapat mayoritas Ulama’ yang
berdasar al Qur’an dan Hadits. Maka dengan merubah mihrab yang sudah ada dengan
mengikuti petunjuk alat seperti kompas, Google maps dan yang lainnya berarti
mendahulukan alat yang bersifat materi daripada al Qur’an dan Hadits.
2.
Masjid Nabawipun bila diukur
dengan hitungan astronomi tidak sesuai dengan ka’bah. Hal ini terbukti dengan
arah kiblat Masjid Nabawi dan Kuba’ Madinah yang menurut falak melenceng sangat
jauh, dimana Masjid Nabawi melenceng 4,5 derajad kearah barat dari Ka’bah
sepanjang 26 km, sedangkan masjid Kuba’ 8,5 derajad sepanjang 50 km kearah yang
sama.
Ket:
Gambar arah kiblat Masjid Nabawi
Ket:
Gambar arah kiblat Masjid Kuba Madinah
3.
Status mihrab menduduki kedudukan
Mukhbir ‘an ‘ilmin (orang yang memberi kabar melihat ka’bah secara langsung)
yang derajatnya lebih didahulukan dari ijtihad. Maka dari itu haram merubah
mihrab yang telah ada dengan dasar ijtihad yang berpegangan pada ilmu falak.[10]
4.
Bertentangan dengan Qaidah :
لا ينكر المختلف فيه و إنما ينكر المجمع عليه[11]
Suatu kemungkaran yang wajib diingkari adalah
perkara yang sudah disepakati para ulama’ atas keharamannya. Adapun masalah
yang masih menjadi perkhilafan di antara para ulama’ maka tidak wajib untuk
diingkari. Akan tetapi diperbolehkan mengingkarinya jika memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut :
Ø Tidak
masuk dalam perkhilafan yang lain,
Ø Tidak
bertentangan dengan Hadits,[12]
Ø Tidak
menimbulkan fitnah.[13]
Menyalahkan atau bahkan merubah arah kiblat yang
telah ada di Indonesia berarti termasuk ingkar yang hukumnnya haram karena
menimbulkan fitnah (perpecahan umat islam), bahkan menimbulkan keraguan pada
masyarakat atas kebenaran kiblat para wali & para ulama’-ulama’ terdahulu
yang berpegang teguh dengan dalil syar’I, menyalahi pendapat ulama’ yang
memperbolehkan menghadap arah ka’bah, menentang hukum yang telah ditetapkan
Nabi, sementara mereka yang merubah mihrab hanya berdasarkan Google Map yang
tidak bisa dikategorikan sebagai dalil
syar'i.
Adapun bagi seseorang yang ingin nembangun masjid
baru dan dengan bantuan alat-alat berbasis tekhnologi maka hukumnya tidak haram
dan bisa dibenarkan karena termasuk salah satu perantara untuk mengetahui arah
kiblat.
b.
Tidak Boleh Mengundang Fitnah Kepada kaum Muslimin
Jika para pemuka agama khususnya di
Indonesia mengemukakan pendapat untuk merubah mihrab itu sudah termasuk sebuah
kesalahan fatal, karena membuat umat muslim menjadi ragu akan Islam.
III.
Penutup
Para
ulama sepakat bahwa orang yang bisa melihat ka’bah wajib menghadap fisik
ka’bah (‘ain al-ka’bah). Sementara itu, mereka yang tidak bisa melihat
ka’bah maka para ulama berbeda pendapat.
Pertama,
Jumhur ulama dan termasuk qaul kedua dalam madzhab Syafi’i berpendapat cukup
dengan menghadap arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Adapun dalil yang
dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn
Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi, “antara Timur dan Barat adalah Kiblat”.
Secara lahiriah hadits itu menunjukkan bahwa semua yang berada di antara
keduanya termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik ka’bah, maka
tidak sah salatnya orang-orang yang berada jauh dari ka’bah karena tidak bisa
memastikan shalatnya menghadap fisik ka’bah.
Kedua,
qaul awal dalam madzhab Syafi’i berpendapat bahwa wajib bagi orang yang jauh
dari Makkah untuk menghadap ‘ain al-ka’bah. Adapun dalil yang
digunakan adalah ayat 144 surat al-Baqarah dan Hadits riwayat ibnu Abbas.
Apabila pendapat kedua ini kita gunakan, maka umat
akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan shalat yang merupakan induk segala
peribadatan dalam Islam. Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan
akurasi arah kiblatnya karena berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan.
* Makalah ini
disampaikan dalam Seminar Nasional “ARAH KIBLAT: ANTARA MITOS DAN SAINS”Tanggal
30 April 2012 di IAIN Walisongo Semarang
* Rois suriah
PWNU Jateng, (Alamat: PP. Al Musthofa Lodan Wetan Sarang Rembang)
[1] Prof. Dr.
Wahbah al Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuh
[2] HR. Baihaqi
[3] Lihat Ibn
Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), Jilid I, h. 243
[4] Imam Abi
Husain Muslim bin Hujja ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami’us
shahih, Juz 1, (Beirut: Dar al-fikr,tth), h. 66
[5] Abu Abdillah
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhary, Shahih
al-Bukhari, Jilid 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), h. 110
[6] At-Tirmidzi, Sunan
at-Tirmidzi, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2003), h. 363; Ibn
Majah, Sunan
Ibn Majah, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2004), h. 320; an-Nasa’i, Sunan
an-Nasa’i, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr, 1999), h. 175
[7] Lihat Wahbah
Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), Jilid 1, h.
758.; Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,
(Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid 1, h. 80
[8] Lihat Al
Mughni Jilid 2 hal.272
[9] Lihat Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, Jilid 2 hal. 11816
[10] Umar bin Abdul
Aziz al Hanafi, Umdatul Mufti walmustafti,1, 47/ Sulaiman bin Muhammad Al
Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala al Manhaj,1, 182
[11] Imam Al
Suyuthi, al Asybah wa an Nadloir,
[12] Imam Al Nawawi,
Raudlatut Thalibin, 4,4
[13] Syaikh Yasin
bin Isa al Fadani, al Fawaidul Janiyyah, 2, 580-581