Rabu, 09 Mei 2012

Fenomena Qiblat


MENYIKAPI LOGIKA DAN MITOS TENTANG KIBLAT PERSPEKTIF ULAMA’*
Oleh: KH. A’wani Sya’rowi (Rois Suriah NU Jawa Tengah)
Bersama: Muhammad Nuruddin, S.Pd.I


I.         Pendahuluan
Jika kita berbicara tentang Makkah, maka kita pasti akan teringat tentang sebuah bangunan berbentuk kubus yang dijadikan arah bagi kaum muslimin untuk mengarahkan atau menghadapkan wajahnya dalam melakukan shalat. Bangunan yang disebut ka’bah ini merupakan tempat peribadatan yang paling terkenal dalam islam, dan biasa disebut dengan Baitullah (the temple or house of god).
Ka’bah dijadikan sebagai kiblat umat muslim ketika melakukan shalat yang mana pengertian kiblat dikutip dari encyclopedia of islam: the qibla, or direction of Mecca, defines the direction of prayer in islam. Dan dalam kutipan lain kiblat is an Arabic word for derection that should be faced when a moeslim prays during salat. Jadi, kita biasa ambil kesimpulan bahwa kiblat adalah arah yang dihadap oleh muslim ketika melaksanakan ibadah atau shalat, yakni arah menuju ka’bah di Mekkah.
Secara Etimologi, kata qiblat berasal dari bahasa arab قبلة  yaitu salah satu bentuk masdar dari kata kerja قبل يقبل , yang berarti menghadap. sedangkan secara Terminologi kata kiblat memilki beberapa definisi salah satunya Abdul Aziz Dahlan yang mendefinisikan kiblat sebagai bangunan ka’bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah.
Karena ka’bah adalah bangunan istimewa dan suci bagi umat islam serta tempat peribadatan  yang terkenal tentunya kita pasti ingin mengetahui apa sejarah ka’bah itu sendiri sehingga dijadikan bagi kaum muslimin dalam melaksanakan ibadahnya. Maka makalah ini mencoba memaparkan sejarah singkat tentang ka’bah yang dijadikan kiblat bagi kaum muslimin. Sholat adalah rukun Islam terpenting setelah Syahadatain, dan merupakan amal Ibadah badaniyah yang paling utama dibandingkan Ibadah badaniyah lainnya semisal puasa, zakat ataupun haji. Sebagai ibadah, shalat memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi demi sahnya shalat itu sendiri, yang dalam bahasa fuqaha disebut dengan syarat dan rukun. Di antara syarat-syarat tersebut adalah menghadap kiblat, yang oleh Fuqaha telah disepakati sebagai syarat sahnya sholat kecuali dalam 2 permasalahan, yaitu sholat dalam keadaan syiddatul khauf dan sholat sunnah ketika di atas kendaraan[1].
Berkenaan dengan konsep menghadap kiblat dalam shalat, perbedaan pendapat di kalangan Ulama tentang hal ini bukan hal baru lagi. Perbedaan tersebut mestinya bukanlah sumber dari perpecahan di kalangan umat Islam. Sebaliknya pendapat-pendapat Ulama salaf sesuai ijtihad mereka masing-masing tersebut pada hakikatnya adalah solusi yang arif bagi kita dalam menyikapi perbedaan dalam masyarakat kita. Rasulullah SAW telah mengisyaratkan hal tersebut dalam sabdanya:  اختلاف أمتي رحمة “Perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”[2].
Sebagaimana kita ketahui, akhir-akhir ini di Indonesia kontroversi seputar arah kiblat kembali mencuat ke permukaan. Beberapa kalangan menyatakan, bahwa banyak arah kiblat masjid yang sudah ada tidak tepat mengarah ke Ka’bah di Makkah, dan perlu dilakukan penyesuaian. –ini sebenarnya bukan yang pertama terjadi di Indonesia, tetapi juga sudah pernah terjadi pada sekitar tahun 1897 M di Yogyakarta yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan- . Tidak terkecuali pada akhirnya masjid paling bersejarah di tanah Jawa, masjid Agung Demak juga digugat arah kiblatnya. Pro dan kontra di antara masyarakat muslim dalam menanggapi masalah yang berkaitan dengan ibadah keseharian mereka ini tak terhindarkan lagi. Keresahan umat Islam bertambah ketika secara mengejetkun mengeluarkan fatwa no.5/2010 yang merevisi fatwa no.3/2010. Yang mana sebelumnya, pada bulan Maret 2010 MUI memfatwakan bahwa kiblat umat Islam Indonesia adalah arah barat. Namun, karena ada sebagian pihak yang belum sepakat, mereka mengkaji ulang fatwa ini. Pada akhirnya, tanggal 10 Juli 2010 MUI menggelar sidang pleno yang menghasilkan fatwa no.5/2010 dengan masih menyisakan pro dan kontra antara anggotanya sendiri, yang mana isinya adalah kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke barat laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing. Di sinilah dibutuhkan solusi bijak untuk menjaga iklim yang kondusif dan persatuan umat Islam.

II.      Pembahasan
A.    Interpretasi Kajian Qiblat
1.      Sejarah Menghadap Qiblat
Di masa Nabi Muhammad, awalnya perintah shalat itu ke baitul Maqdis di Palestina. Hal ini dilakukan berhubungan kedudukan baitul maqdis saat itu masih dianggap yang paling istimewa dan Baitullah masih dikotori oleh beratus-ratus berhala yang mengelilinginya. Namun menurut sebuah riwayat, sekalipun Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis, jika berada di Makkah Rasulullah saw berusaha untuk tetap shalat menghadap ke Ka’bah. Caranya adalah dengan mengambil posisi di sebelah selatan Ka’bah. Dengan mengahadap ke utara, maka selain menghadap Baitul Maqdis di Palestina, beliau juga tetap menghadap Ka’bah.
Namun ketika beliau dan para shahabat hijrah ke Madinah, maka menghadap ke dua tempat yang berlawanan arah menjadi mustahil. Dan Rasulullah saw sering menengadahkan wajahnya ke langit berharap turunnya wahyu untuk menghadapkan shalat ke Ka’bah. Hingga turunlah ayat berikut :
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ ﴿١٤٤﴾
.
Artinya:  Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 144).
Demikianlah Rasulullah pernah menghadap kiblat ke Baitul Maqdis ketika beliau ada di mekkah dan di madinah hampir kurang lebih 17 bulan, seteleh turun ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad untuk memalingkan wajahnya untuk menghadap ke Ka’bah maka ditentukanlah kiblat, arah shalat bagi umat muslim sampai sekarang adalah ka’bah yang terletak di Mekkah.
Jadi, di dalam urusan menghadap Ka’bah, umat Islam punya latar belakang sejarah yang panjang.  Ka’bah merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di atas bumi untuk dijadikan tempat ibadah manusia pertama. Dan Allah swt telah menetapkan bahwa shalatnya seorang muslim harus menghadap ke Ka’bah sebagai bagian dari aturan baku dalam shalat.

2.      Dasar Hukum Menghadap Qiblat
Para ulama telah membuat consensus (ijma) yang menetapkan ka’bah sebagai arah atau kiblat bagi seluruh umat Islam dalam melaksanakan ritual ibadah shalat, dan dasar hukumnya sebagai berikut:
a.    Alqur’an Al Karim
Banyak ayat al-Quran yang menjelaskan mengenai dasar hukum menghadap kiblat, antara lain firman Allah SWT dalam Qs. Al- Baqarah 144:
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ ﴿١٤٤﴾
Artinya:  Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 144).
Juga dalam Qs Al-Baqarah 150:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٥٠﴾
Artinya:  Dan dari mana saja kamu keluar (datang) maka palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram, dan dimana saja kamu semua berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang dhalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atas kamu, dan supaya kamu dapat petunjuk. (QS. AL-Baqarah :150)

Artikulasi ditetapkannya ka’bah sebagai arah kiblat bukan dimaksudkan sebagai bentuk penyucian (pen-taqlidan) dan pensakralan satu arah tertentu, akan tetapi eksistensinya dalam pelaksanaan ritual ibadah hanya dimaksudkan sebagai methode ketaatan terhadap perintah Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah : 142.

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾
Artinya : Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus” (QS. Al-Baqarah: 142).
Oleh karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni salat, maka ia baru boleh dilakukan setelah ada dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat itu wajib. Hal  ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “al-ashl fî al-‘ibâdah al-buthlân hattâ yaqûma al-dalîl ‘alâ al-amr.[3]

b.   Hadits Nabi
Berkaitan dengan penjelasan dan dasar menghadap kiblat adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Tsabit bin Anas beliau berkata:

عن أنس بن مالك رضي الله قال:ان رسول اللّه صلّي اللّه عليه وسلّم كان يصلّي نحو بيت المقدس فنزلت ” قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّماَءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ المَسْجِدِ الحَراَمِ. فمر رجل من بني سلمة وهم ركوع في صلاة الفجر وقد صلوا ركعة فنادى ألا أن القبلة قد حولت  فمالوا كماهم نحو القبلة. (رواه مسلم)


Artinya: Dari Anas Bin Malik RAberkata: “ bahwa sesunggunya Rasulullah SAW(pada suatu hari) sedang shalat dengan menghadap Baitul Maqdis, kemudian turunlah  ayat “Sesungguhnya Aku melihat mukamu setimh menengadah ke langit, maka sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang kamu kehendaki. Palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram”. Kemudian ada seseorang dari Bani Salamah bepergian, menjumpai sekelompok sahabat sedang ruku pada shalat fajar. Lalu ia menyeru “Sesungguhnya kiblat telah berubah”. Lalu mereka berpaling seperti kelompok Nabi, yakni kearah kiblat”.(HR. Muslim).[4]
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:
عن ابى هريرة ر.ع . قال : قال النبى ص.م. : اذا قمت الى الصلاة فاسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة وكبر (رواه البخاري)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a.  Nabi saw bersabda: bila  hendak salat maka sempurnakanlah wudu, lalu Menghadaplah ke kiblat lalu takbirlah”(HR. Bukhari) [5]

Meskipun para Ulama telah sepakat tentang Ka’bah sebagai kiblat seluruh umat islam dalam melakukan kewajiban ibadah shalat, akan tetapi dapat varian perbedaan pendapat, terutama pada teritorial daerah yang jauh dari ka’bah. Sebaliknya, pada daerah yang jauh hingga tidak tampak bentuk fisik ka’bah para ulama masih berbeda pendapat tentang teknis menghadap kiblatnya.
Setidaknya ada dua versi pendapat di kalangan ulama. Pndapat pertama menyatakan bahwa di manapun umat islam berada, baik yang dekat maupun jauh dari ka’bah, mereka wajib menghadap bentuk fisik ka’bah (ain ka’bah). Pendapat ini didukung oleh Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ibn Hambal. Sedangkan pendapat kedua merekomendasikan bahwa umat islam cukup menghadap kea rah ka’bah saja (jihah al-ka’bah). Pendapapat kedua ini di dukung oleh Imam Abu Hanifah dan Malik Ibn Anas. Titik temu dari kedua pendapat tersebut pada konteks bahwa bagi umat islam pada territorial daerah yang mampu melihat fisik ka’bah maka cara menghadapnya adalah menghadap bentuk fisik (ain ka’bah), sedangkan bagi-bagi yang jauh dan tidak dapat melihat bentuk fisik ka’bah maka diperkenankan untuk tidak persis menghadap ain al-ka’bah secara yaqinan (yakin) tetapi paling tidak secara dhannan (dugaan kuat). Hal ini diperkuat dengan berdasarkan dalil hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ما بين المشرق و المغرب قبلة إذا توجه نحو البيت (رواه الببهقي)
Artinya: dari Abi hurairah berkata Nabi SAW bersabda: diantara timur dan barat terdapat kiblat, jika seseorang menghadapnya kea rah Baitullah.     (HR. Baihaqi)[6]
Secara lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua arah yang berada di antara keduanya yaitu utara dan selatan termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada dalam shaff yang sangat panjang yang jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan salatnya menghadap fisik ka’bah[7]
البيت قبلة لاهل المسجد والمسجد قبلة لاهل الحرام والحرام قبلة لاهل الارض في مشارقها و مغاربها من امتي ( رواه البيهقي)
Artinya:  Baitullah kiblat bagi penghuni Masjidil Haram, Masjidil Haram kiblat bagi penghuni tanah Haram, Tanah Haram kiblat bagi penduduk bumi di penjuru timur dan barat dari umatku. ( HR. Baihaqi)

B.     Logika Falak dalam Qiblat
1.      Koordinat Posisi Geografis
Setiap lokasi di permukaan bumi ditentukan oleh dua bilangan yang menunjukkan kooordinat atau posisinya. Koordinat posisi ini masing-masing disebut Latitude (Lintang) dan Longitude (Bujur). Sesungguhya angka koordinat ini merupakan angka sudut yang diukur dari pusat bumi sampai permukaannya. Acuan pengukuran dari suatu tempat yang merupakan perpotongan antara garis Ekuator dengan Garis Prime Meridian yang melewati kota Greenwich Inggris. Titik ini  berada di Laut Atlantik kira-kira 500 km di Selatan kota Accra Rep. Ghana Afrika.
http://www.rukyatulhilal.org/images/longlat.jpg











Satuan kooordinat lokasi dinyatakan dengan derajat, menit busur dan detik busur dan disimbolkan dengan ( °,   ',   "  ) misalnya 110° 47’ 9” dibaca 110 derajat 47 menit 9 detik. Dimana 1° = 60’ = 3600”. Dan perlu diingat bahwa walaupun menggunakan kata menit dan detik namun ini adalah satuan sudut dan bukan satuan waktu.
Latitude disimbolkan dengan huruf Yunani φ (phi) dan Longitude disimbolkan dengan λ (lamda). Latitude atau Lintang adalah garis vertikal yang menyatakan jarak sudut sebuah titik dari lintang nol derajat yaitu garis Ekuator. Lintang dibagi menjadi Lintang Utara (LU) nilainya positif (+) dan Lintang Selatan (LS) nilainya negatif (-) sedangkan Longitude atau Bujur adalah garis horisontal yang menyatakan jarak sudut sebuah titik dari bujur nol derajat yaitu garis Prime Meridian. Bujur dibagi menjadi Bujur Timur (BT) nilainya positif (+) dan Bujur Barat (BB) nilainya negatif (-). Untuk standard internasional angka longitude dan latitude menggunakan kode arah kompas yaitu North (N), South(S), East (E) dan West (W). Misalnya Yogyakarta berada di Longitude 110° 47’ BT bisa ditulis 110° 47’ E atau +110° 47’.

2.      Rumus Trigonometri
Arah Ka’bah yang berada di kota Makkah yang dijadikan Kiblat dapat diketahui dari setiap titik di permukaan bumi, maka untuk menentukan arah kiblat dapat dilakukan dengan menggunakan Ilmu Ukur Segitiga Bola (Spherical Trigonometri). Penghitungan dan pengukuran dilakukan dengan derajat sudut dari titik kutub Utara, dengan menggunakan alat bantu mesin hitung atau kalkulator.
http://bengkelfalak.org/arahkiblat/bumi_segitiga.jpgUntuk  perhitungan arah kiblat, ada 3 buah titik yang harus dibuat, yaitu :

1.      Titik A, diletakkan di Ka’bah (Mekah)
2.      Titik B, diletakkan di lokasi tempat yang 
 akan ditentukan arah kiblatnya.
3.      Titik C, diletakkan di titik kutub utara.


Titik A dan titik C adalah dua titik yang tetap, karena titik A tepat di Ka’bah dan titik C tepat di kutub Utara sedangkan titik B senantiasa berubah tergantung lokasi mana yang akan dihitung arah Kiblatnya.
Bila ketiga titik tersebut dihubungkan dengan garis lengkung permukaan bumi, maka terjadilah segitiga bola ABC, seperti pada gambar.
Ketiga sisi segitiga ABC di samping ini diberi nama dengan huruf kecil dengan nama sudut didepannya masing-masing sisi a, sisi b dan sisi c.
Dari gambar di atas, dapatlah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perhitungan Arah Kiblat adalah suatu perhitungan untuk mengetahui berapa besar nilai sudut K di titik B, yakni sudut yang diapit oleh sisi a dan sisi c.
Pembuatan gambar segitiga bola seperti di atas sangat berguna untuk membantu menentukan nilai sudut arah kiblat bagi suatu tempat dipermukaan bumi ini dihitung/diukur dari suatu titik arah mata angin ke arah mata angin lainnya, misalnya diukur dari titik Utara ke Barat (U-B), atau diukur searah jarum jam dari titik Utara (UTSB).
Untuk perhitungan arah kiblat, hanya diperlukan dua data :
1). Koordinat Ka’bah  φ  = 21o 25’ LU    dan     λ  = 39o 50’ BT.
2). Koordinat lokasi yang akan dihitung arah kiblatnya.
Sedangkan data lintang dan bujur tempat lokasi kota yang akan dihitung arah kiblatnya dapat diambil dari berbagai sumber diantaranya : Atlas Indonesia dan Dunia, Taqwim Standar Indonesia, Tabel Geografis Kota-kota Dunia, situs Internet maupun lewat pengukuran langsung menggunakan piranti Global Positioning System (GPS).
Data geografis Ka’bah di Makkah :  φ = 21° 25’ LU  dan  λ = 39° 50’ BT

INDONESIA
NILAI
ARAB
INTERNASIONAL
SIMBOL
   1
 Lintang (LU /LS)
+ / -
‘Ardul  balad
Latitude    (U/S)
phi = φ
   2
 Bujur ( BT / BB )
+ / -
Thulul balad
Longitude (E/W)
lambda = λ

3.      Istiwa A'zam - Matahari Istiwa di Atas Ka'bah (Rumus Tradisional)
Kejadian saat posisi matahari istiwa (kulminasi) tepat di atas Ka'bah terjadi dua kali setahun yaitu pada setiap tanggal 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan pada 16 Juli sekitar jam 16.28 WIB. Ketika matahari istiwa di atas Ka'bah, bayang-bayang objek tegak di seluruh dunia akan lurus ke arah kiblat.
http://bengkelfalak.org/arahkiblat/qiblat5.jpg
Kedudukan matahari di atas Ka'bah yang menyebabkan bayangan tegak diseluruh dunia searah  kiblat.

Panduan untuk menentukan arah kiblat dari sesuatu tempat pada tanggal dan jam yang telah ditentukan diatas:
1.1.1.      Dirikan sebuah tiang di sekitar lokasi yang hendak diukur arah kiblatnya
1.1.2.      Pastikan tiang tersebut tegak dan lurus. Untuk meyakinkan posisi tegakknya dapat diukur menggunakan bandul yang   tergantung pada seutas tali.
1.1.3.      Tempat yang dipilih untuk  pengukuran ini tidak boleh terlindung dari ahaya matahari. Oleh karena matahari berada di Barat, maka bayangan akan kearah Timur, maka arah kiblat ialah bayang yang menghadap ke Barat

Dan masih banyak lagi rumus menentukan arah kiblat yang dapat digunakan secara modern maupun tradisional diantaranya kontelasi Rasi Orion (Babadour), Bintang Al Qutbi/Kutub polaris, Rasi Al-Judah ( Bajak / Ursa Minoris ), dan Rumus matahari terbenam, serta kaidah jari telunjuk dan lain sebagainya.


C.    Mitos Qiblat Bagi Masyarakat
Masyarakat Islam di Indonesia sebagian besar masih menganut faham mitos ini dalam menentukan arah Qiblat dalam sholat hanya dengan ancer-ancer mereka sangat yakin bahwa mereka mengarah Qiblat tanpa harus mengukur berapa derajat kesesuainya. Mereka berpendapat bahwa “Nilai Ibadah seseorang hanya Allah yang menentukan bukan ulama maupun malaikat
Pendapat ulama tentang arah kiblat yang berlau di masyarakat:
1.    Cara Menghadap Qiblat dengan Melihat langsung Ka’bah
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap kea rah lain.
Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dalam Al Mughni mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan, ‘Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah’.”[8]
2.    Cara Menghadap Qiblat Bagi Yang Jauh dari Ka’bah
Jika melihat ka’bah secara langsung, para ulama sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak boleh melenceng. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri (Indonesia)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah menghadap ke arahnya saja.[9]
Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzanniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis)
Jadi, intinya jika seseorang tidak melihat ka’bah secara langsung, di sini ada perselisihan pendapat di antara ulama. Padahal jika kita lihat dalil masing-masing kubu adalah sama. Namun, pemahamannya saja yang berbeda karena berargumen dengan hadits yang mereka pegang.
Kesemua empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali telah bersepakat bahwa menghadap kiblat salah satu merupakan syarat sahnya shalat. Bagi Mazhab Syafii telah menambah dan menetapkan tiga kaidah yang bisa digunakan untuk memenuhi syarat menghadap kiblat yaitu:
a)        Menghadap Kiblat Yakin (Kiblat Yakin)
Seseorang yang berada di dalam Masjidil Haram dan melihat langsung Ka'bah, wajib menghadapkan dirinya ke Kiblat dengan penuh yakin. Ini yang juga disebut sebagai “Ainul Ka’bah”. Kewajiban tersebut bisa dipastikan terlebih dahulu dengan melihat atau menyentuhnya bagi orang yang buta atau dengan cara lain yang bisa digunakan misalnya pendengaran. Sedangkan bagi seseorang yang berada dalam bangunan Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.
b)       Menghadap Kiblat Perkiraan (Kiblat Dzan)
Seseorang yang berada jauh dari Ka'bah yaitu berada diluar Masjidil Haram atau di sekitar tanah suci Mekkah sehingga tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai maksud menghadap ke arah Kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul Ka’bah”. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan bertanya kepada mereka yang mengetahui  seperti penduduk Makkah atau melihat tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat di tempat–tempat tersebut.
c)        Menghadap Kiblat Ijtihad (Kiblat Ijtihad)
Ijtihad arah kiblat digunakan seseorang yang berada di luar tanah suci Makkah atau bahkan di luar negara Arab Saudi. Bagi yang tidak tahu arah dan ia tidak dapat mengira Kiblat Dzan nya maka ia boleh menghadap kemanapun yang ia yakini sebagai Arah Kiblat.  Namun bagi yang dapat mengira maka ia wajib ijtihad terhadap arah kiblatnya. Ijtihad  dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Diantaranya adalah ijtihad menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari terbenam dan perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan modern.
Bagi lokasi atau tempat yang jauh seperti Indonesia, ijtihad arah kiblat dapat ditentukan melalui perhitungan falak atau astronomi serta dibantu pengukurannya menggunakan peralatan modern seperti kompas, GPS, theodolit dan sebagainya. Penggunaan alat-alat  modern ini akan menjadikan arah kiblat yang kita tuju semakin tepat dan akurat. Dengan bantuan alat dan keyakinan yang lebih tinggi maka hukum Kiblat Dzan akan semakin mendekati Kiblat Yakin. Dan sekarang kaidah-kaidah pengukuran arah kiblat menggunakan perhitungan astronomis dan pengukuran menggunakan alat-alat modern semakin banyak digunakan secara nasional di Indonesia dan juga di negara-negara lain. Bagi orang awam atau kalangan yang tidak tahu menggunakan kaidah tersebut, ia perlu taqlid atau percaya kepada orang yang berijtihad.

D.    Manakah yang Benar antara Logika falak dan Mitos dalam menentukan Qiblat
Jika kita dihadapkan manakah yang benar antara logika falak dan mitos bisa dijawab oleh ulama bahwasanya keduanya tidak ada yang salah kita tetap menggunkan dua-duanya.

Yang tidak dibenarkan dalam Falak maupun mitos Qiblat menurut ulama adalah:

a.        Hasil Penghitungan Astronomi Digunakan Untuk Pijakan Merubah Mihrab Yang Sudah ada
Dalam Kenyataanya arah kiblat masjid-masjid di Indonesia khususnya masjid-masjid yang didirikan para wali, para Ulama’ terdahulu sudah sesuai dengan standart syariat yang ada walaupun jika diukur dengan ilmu falak dan teknologi tidak sesuai atau tidak tepat dan lurus posisinya dari ka’bah.
Selain itu warga muslim Indonesia yang mayoritas Warga NU dan berpegangan pada Madzahibul Arba’ah sehingga tidak perlu lagi merubah Mihrab yang sudah ada Maka dari itu merubah mihrab masjid – masjid yang sudah ada adalah pekerjaan yang sangat tidak perlu dan bahkan tidak dapat dibenarkan dengan beberapa alasan:
1.        Arah Masjid-masjid yang ada di Indonesia pada umumnya sudah sesuai dengan pendapat mayoritas Ulama’ yang berdasar al Qur’an dan Hadits. Maka dengan merubah mihrab yang sudah ada dengan mengikuti petunjuk alat seperti kompas, Google maps dan yang lainnya berarti mendahulukan alat yang bersifat materi daripada al Qur’an dan Hadits.
2.        Masjid Nabawipun bila diukur dengan hitungan astronomi tidak sesuai dengan ka’bah. Hal ini terbukti dengan arah kiblat Masjid Nabawi dan Kuba’ Madinah yang menurut falak melenceng sangat jauh, dimana Masjid Nabawi melenceng 4,5 derajad kearah barat dari Ka’bah sepanjang 26 km, sedangkan masjid Kuba’ 8,5 derajad sepanjang 50 km kearah yang sama.
arah-qiblat-masjid-nabawi-2masjid-nabawi-qiblat






Ket: Gambar arah kiblat Masjid Nabawi

           

masjid_quba_2




                       

Ket: Gambar arah kiblat Masjid Kuba Madinah

3.        Status mihrab menduduki kedudukan Mukhbir ‘an ‘ilmin (orang yang memberi kabar melihat ka’bah secara langsung) yang derajatnya lebih didahulukan dari ijtihad. Maka dari itu haram merubah mihrab yang telah ada dengan dasar ijtihad yang berpegangan pada ilmu falak.[10]
4.        Bertentangan dengan Qaidah :
لا ينكر المختلف فيه و إنما ينكر المجمع عليه[11]
Suatu kemungkaran yang wajib diingkari adalah perkara yang sudah disepakati para ulama’ atas keharamannya. Adapun masalah yang masih menjadi perkhilafan di antara para ulama’ maka tidak wajib untuk diingkari. Akan tetapi diperbolehkan mengingkarinya jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

Ø Tidak masuk dalam perkhilafan yang lain,
Ø Tidak bertentangan dengan Hadits,[12]
Ø Tidak menimbulkan fitnah.[13]

Menyalahkan atau bahkan merubah arah kiblat yang telah ada di Indonesia berarti termasuk ingkar yang hukumnnya haram karena menimbulkan fitnah (perpecahan umat islam), bahkan menimbulkan keraguan pada masyarakat atas kebenaran kiblat para wali & para ulama’-ulama’ terdahulu yang berpegang teguh dengan dalil syar’I, menyalahi pendapat ulama’ yang memperbolehkan menghadap arah ka’bah, menentang hukum yang telah ditetapkan Nabi, sementara mereka yang merubah mihrab hanya berdasarkan Google Map yang tidak bisa dikategorikan sebagai  dalil syar'i.

Adapun bagi seseorang yang ingin nembangun masjid baru dan dengan bantuan alat-alat berbasis tekhnologi maka hukumnya tidak haram dan bisa dibenarkan karena termasuk salah satu perantara untuk mengetahui arah kiblat.



b.        Tidak Boleh Mengundang Fitnah Kepada kaum Muslimin
Jika para pemuka agama khususnya di Indonesia mengemukakan pendapat untuk merubah mihrab itu sudah termasuk sebuah kesalahan fatal, karena membuat umat muslim menjadi ragu akan Islam.

III.   Penutup
Para ulama sepakat  bahwa orang yang bisa melihat ka’bah wajib menghadap fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah). Sementara itu, mereka yang tidak bisa melihat ka’bah maka para ulama berbeda pendapat.
Pertama, Jumhur ulama dan termasuk qaul kedua dalam madzhab Syafi’i berpendapat cukup dengan menghadap arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Adapun dalil yang dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi, “antara Timur dan Barat adalah Kiblat”. Secara lahiriah hadits itu menunjukkan bahwa semua yang berada di antara keduanya termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan shalatnya menghadap fisik ka’bah.
Kedua,  qaul awal dalam madzhab Syafi’i berpendapat bahwa wajib bagi orang yang jauh dari Makkah untuk menghadap ‘ain al-ka’bah. Adapun dalil yang digunakan adalah ayat 144 surat al-Baqarah dan Hadits riwayat ibnu Abbas.
Apabila pendapat kedua ini kita gunakan, maka umat akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan shalat yang merupakan induk segala peribadatan dalam Islam. Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan akurasi arah kiblatnya karena berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan.




* Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional “ARAH KIBLAT: ANTARA MITOS DAN SAINS”Tanggal 30 April 2012 di IAIN Walisongo Semarang
* Rois suriah PWNU Jateng, (Alamat: PP. Al Musthofa Lodan Wetan Sarang Rembang)
[1] Prof. Dr. Wahbah al Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuh
[2] HR. Baihaqi
[3] Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), Jilid I, h. 243
[4] Imam Abi Husain Muslim bin Hujja ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami’us shahih, Juz 1, (Beirut: Dar al-fikr,tth), h. 66
[5] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhary, Shahih al-Bukhari, Jilid 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), h. 110
[6] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2003), h. 363; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, (Beirut : Dar al-Fikr, 2004), h. 320; an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Juz IV, (Beirut : Dar al-Fikr, 1999), h. 175
[7] Lihat Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), Jilid 1, h. 758.; Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid 1, h. 80
[8] Lihat Al Mughni Jilid 2 hal.272
[9] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, Jilid 2 hal. 11816
[10] Umar bin Abdul Aziz al Hanafi, Umdatul Mufti walmustafti,1, 47/ Sulaiman bin Muhammad Al Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala al Manhaj,1, 182
[11] Imam Al Suyuthi, al Asybah wa an Nadloir,
[12] Imam Al Nawawi, Raudlatut Thalibin, 4,4
[13] Syaikh Yasin bin Isa al Fadani, al Fawaidul Janiyyah, 2, 580-581